
Pasar fixed broadband di Indonesia menunjukkan potensi besar di tengah upaya agresif industri telekomunikasi untuk mempercepat pembangunan jaringan serat optik nasional. Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mencatat penetrasi fixed broadband di rumah tangga saat ini baru mencapai sekitar 21%, jauh di bawah penetrasi internet seluler yang telah menembus angka 80,66%. Angka ini mengindikasikan adanya ruang pertumbuhan yang signifikan dalam beberapa tahun ke depan.
Untuk mengatasi kesenjangan digital dan memenuhi kebutuhan konektivitas yang terus meningkat, pemerintah melalui Komdigi telah menetapkan target ambisius. Direktur Jenderal Infrastruktur Digital Komdigi, Wayan Toni Supriyanto, menyatakan bahwa pada tahun 2029, penetrasi fixed broadband di rumah tangga diharapkan mencapai 50% dengan kecepatan minimal 100 Mbps. Selain itu, jangkauan serat optik ditargetkan mencapai 90% di tingkat kecamatan. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto menargetkan kecepatan internet tetap bisa menembus 1 gigabit per detik (Gbps) di 38 kota dan kabupaten pada tahun 2029. Namun, data Speedtest Global Index per September 2025 menunjukkan kecepatan unduh rata-rata fixed broadband di Indonesia baru mencapai 41,15 Mbps, menempatkan Indonesia di peringkat 118 dari 154 negara di dunia, serta masih tertinggal dibandingkan rata-rata negara ASEAN.
Sejalan dengan target pemerintah, para pelaku industri telekomunikasi bergegas memperluas dan memodernisasi infrastruktur serat optik mereka. PT Telkom Indonesia Tbk, sebagai operator telekomunikasi terbesar, telah membangun jaringan serat optik sepanjang sekitar 173 ribu kilometer hingga awal 2025 dan fokus pada optimalisasi infrastruktur yang ada. Anak usahanya, Mitratel, juga aktif menambah jaringan serat optik secara organik, dengan target penambahan 2.505 km pada tahun 2025 sehingga total panjang serat optiknya mencapai lebih dari 53 ribu kilometer.
Penyedia layanan lain seperti Remala Abadi melalui layanan Nethome juga melihat penetrasi fixed broadband yang rendah sebagai peluang besar. Perusahaan ini gencar memperluas jaringan Fiber-to-the-Home (FTTH) dari Jawa hingga Bali, menargetkan penambahan 500 ribu homepass di Bali dan Tangerang Selatan pada tahun 2026. Oxygen.id dari PT Mora Telematika Indonesia Tbk (Moratelindo) pun terus melanjutkan ekspansi jaringannya dengan meresmikan kantor cabang baru di Medan pada November 2025, setelah sukses di beberapa kota lain. Sementara itu, YOFC Indonesia, pabrik serat optik pertama di Asia Tenggara, telah memasang lebih dari 28.000 kilometer kabel optik di lebih dari 80 kota besar, menyediakan konektivitas bagi sekitar dua juta rumah tangga. PT Centratama Telekomunikasi Indonesia Tbk juga telah menuntaskan pembangunan lebih dari 2.500 kilometer kabel serat optik di 13 lokasi pada akhir tahun 2024 untuk mendukung ekspansi 4G dan 5G.
Pemerintah juga meluncurkan program-program konkret seperti "Kampung Internet" oleh Komdigi untuk memperluas akses internet di daerah pedesaan dan terpencil, menyediakan titik akses internet gratis. Selain itu, Komdigi berencana mendorong teknologi Fixed Wireless Access (FWA) 5G, terutama di frekuensi 1,4 GHz, sebagai solusi untuk menyediakan akses broadband tanpa menunggu pembangunan serat optik yang mahal dan memakan waktu, khususnya di wilayah yang sulit dijangkau. Program "Internet Rakyat" (IRA) yang memanfaatkan FWA 5G ini diluncurkan untuk menyediakan akses cepat dan terjangkau hingga pelosok, dengan tarif yang disesuaikan per wilayah.
Namun, pengembangan fixed broadband di Indonesia tidak lepas dari sejumlah tantangan. Biaya investasi yang tinggi untuk menggelar jaringan serat optik, terutama di negara kepulauan seperti Indonesia dan daerah terpencil, menjadi kendala utama. Selain itu, regulasi di tingkat daerah yang tidak seragam juga menyulitkan para penyedia jasa internet (ISP) dalam melakukan pembangunan. Tantangan lain adalah keterjangkauan harga layanan bagi masyarakat. Meskipun harga per Mbps cenderung menurun, kemampuan bayar masyarakat di banyak daerah masih menjadi persoalan, dengan banyak yang hanya sanggup membayar di bawah Rp 100 ribu per bulan. Persaingan yang tidak sehat antar-ISP juga dapat menyebabkan perang harga dan infrastruktur yang tidak efisien atau menumpuk.
Dalam upaya penataan infrastruktur, Asosiasi Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi (Apjatel) berencana menggencarkan perapihan kabel serat optik di kota-kota besar Indonesia mulai tahun 2025 dengan memindahkannya ke bawah tanah. Langkah ini diharapkan dapat mengatasi masalah kabel semrawut, mengurangi risiko kecelakaan, dan meningkatkan keandalan jaringan. Dengan kolaborasi antara pemerintah dan industri, didukung inovasi teknologi seperti FWA 5G, pasar fixed broadband Indonesia terus berupaya mencapai target penetrasi yang lebih tinggi dan mewujudkan transformasi digital yang inklusif.