
Revolusi konektivitas internet satelit langsung ke perangkat seluler (direct-to-cell) semakin mendekat menjadi kenyataan global, memicu Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) di Indonesia untuk menyerukan kehati-hatian, agar teknologi disruptif ini tidak berubah menjadi "predator" yang mengancam industri telekomunikasi nasional. Teknologi Non-Terrestrial Network (NTN) direct-to-device (D2D) memungkinkan layanan broadband dikirim langsung dari satelit ke ponsel tanpa melalui jaringan operator telekomunikasi lokal. Hal ini berpotensi mengubah lanskap konektivitas, terutama di wilayah terpencil, perbatasan, dan pesisir (daerah 3T) yang selama ini sulit dijangkau jaringan terestrial.
Sejumlah perusahaan global terkemuka seperti Starlink milik SpaceX, AST SpaceMobile, dan Lynk Global sedang memelopori pengembangan teknologi ini. Starlink, misalnya, berencana meluncurkan layanan pesan teks (SMS) via satelit pada tahun 2024, diikuti dengan panggilan suara, akses internet, dan konektivitas untuk perangkat Internet of Things (IoT) pada tahun 2025. Sementara itu, AST SpaceMobile juga tengah berupaya meluncurkan lebih banyak satelit pada tahun 2025 untuk membentuk konstelasi global BlueBird, yang mampu menyediakan layanan seluler langsung ke ponsel di lebih dari 100 negara. Teknologi ini tidak memerlukan modifikasi perangkat keras, firmware, atau aplikasi khusus pada ponsel yang ada. Manfaatnya sangat besar, termasuk potensi untuk membangun inklusi digital yang merata, mempercepat respons bencana, dan menyediakan akses digital bagi jutaan warga yang terisolasi.
Menyikapi perkembangan ini, KPPU menyoroti bahwa layanan D2D adalah keniscayaan teknologi yang bersifat disruptif. Namun, Ketua KPPU M. Fanshurullah Asa mengingatkan agar disrupsi tersebut dikelola dengan baik supaya tidak menjadi "predator" yang merugikan investasi besar operator seluler di Indonesia. Salah satu kekhawatiran utama KPPU adalah potensi praktik penetapan harga yang agresif atau "predatory pricing", di mana perangkat NTN D2D mungkin dijual dengan diskon besar-besaran, jauh di bawah harga wajar perangkat VSAT lokal atau layanan internet lainnya.
KPPU juga mengakui bahwa masuknya layanan D2D dapat menimbulkan asimetri persaingan dalam struktur pasar telekomunikasi Indonesia yang oligopolistik. Jika aturan tidak tepat, operator seluler nasional berisiko kehilangan pangsa pasar, bahkan di segmen B2C perkotaan yang sebenarnya bukan target utama satelit LEO. Fanshurullah menegaskan bahwa kerugian besar atau kolapsnya operator seluler lokal akibat kalah bersaing dengan pemain asing yang memiliki beban regulasi minimal akan berdampak negatif pada masyarakat dan mengancam kedaulatan digital.
Saat ini, KPPU sedang menghimpun masukan dan melakukan kajian lanjutan setelah Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membuka konsultasi publik terkait implementasi teknologi Non-Terrestrial Network Direct-to-Device (NTN-D2D) di Indonesia. Komdigi menekankan bahwa kajian ini penting untuk pemerataan konektivitas digital nasional, penguatan ketahanan komunikasi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi digital. KPPU telah menyampaikan saran agar Starlink dan penyedia layanan satelit LEO lainnya diprioritaskan untuk melayani wilayah 3T dan diwajibkan bekerja sama dengan operator telekomunikasi nasional. Hal ini bertujuan agar layanan D2D tetap dikelola melalui jaringan dalam negeri, termasuk Network Operations Center (NOC) dan pengelolaan datanya, demi keamanan data dan kesetaraan pajak.
KPPU juga menyatakan akan terus melakukan pengawasan perilaku pasar secara real time. Jika ditemukan indikasi atau dugaan predatory pricing atau penyalahgunaan posisi dominan, KPPU tidak akan ragu untuk menaikkan statusnya ke tahap penyelidikan awal. Selain itu, KPPU akan memberikan advokasi kebijakan kepada pemerintah untuk merevisi regulasi telekomunikasi agar sesuai dengan perkembangan teknologi NTN demi menciptakan persaingan usaha yang sehat. Tantangan lain yang dihadapi termasuk regulasi spektrum, interoperabilitas antar operator, serta kendala teknis seperti pergeseran Doppler dan keterbatasan daya baterai perangkat. Meskipun Starlink telah memiliki izin untuk ISP dan VSAT di Indonesia, layanan direct-to-cell belum dapat diimplementasikan karena tidak adanya regulasi yang mengaturnya. Kajian Komdigi mengenai hal ini pun masih berada pada tahap awal.