:strip_icc()/kly-media-production/medias/4446452/original/034333700_1685420477-computer-1591018_1280.jpg)
Para pimpinan teknologi informasi (TI) global kini menghadapi realitas yang semakin nyata: ketahanan siber bukan lagi sekadar pilihan, melainkan kunci hidup mati bagi keberlangsungan bisnis mereka di era digital yang semakin kompleks. Transformasi digital yang pesat di berbagai sektor seperti keuangan, kesehatan, pendidikan, dan pemerintahan telah meningkatkan ketergantungan pada sistem digital, yang pada gilirannya memperluas permukaan serangan bagi para pelaku kejahatan siber.
Ancaman siber terus berevolusi dalam frekuensi dan kecanggihan, dengan serangan yang didorong oleh kecerdasan buatan (AI) seperti phishing yang canggih, malware adaptif, dan ransomware menjadi semakin sulit dideteksi. Laporan terbaru menunjukkan bahwa phishing kini menyumbang 77% dari semua serangan, meningkat dari 60% pada tahun 2024, dengan teknik seperti ClickFix dan Business Email Compromise (BEC) berbasis AI mengalami lonjakan drastis. Selain itu, ketegangan geopolitik dan kerentanan dalam rantai pasokan global turut memperumit lanskap ancaman siber. Sifat sistem digital yang saling terhubung (hiperkonektivitas) memungkinkan serangan siber di satu negara dapat dengan cepat menyebar secara global, menyulitkan identifikasi dan penanganan ancaman. Infrastruktur kritis seperti jaringan listrik, sistem perbankan, transportasi, dan layanan kesehatan sangat rentan terhadap serangan siber yang dapat mengganggu layanan penting yang menopang kehidupan sehari-hari.
Dampak dari insiden siber sangat masif dan mengancam kelangsungan hidup perusahaan. Kerugian finansial akibat kejahatan siber secara global diproyeksikan mencapai 10,5 triliun dolar AS per tahun pada 2025, meningkat dari 3 triliun dolar AS pada 2015. Angka ini bahkan dapat melonjak hingga 23,8 triliun dolar AS pada tahun 2027. Selain kerugian finansial, serangan siber juga menyebabkan gangguan operasional, hilangnya produktivitas, kerusakan reputasi, dan hilangnya kepercayaan pelanggan. Survei menunjukkan bahwa 23% perusahaan korban serangan siber kehilangan kesempatan mendapatkan kontrak bisnis baru, dan sekitar 22% ditinggalkan oleh pelanggan mereka.
Menanggapi ancaman ini, para pemimpin TI global menjadikan ketahanan siber sebagai prioritas strategis utama. Riset terbaru iCIO Community yang didukung CTI Group mengungkapkan bahwa keamanan siber, tata kelola data, dan penguatan platform digital adalah tiga prioritas utama para Chief Information Officer (CIO) pada tahun 2025. Komitmen ini konsisten dari tahun-tahun sebelumnya, mengingat ketiganya krusial untuk menjaga ketahanan bisnis di tengah ketidakpastian. Investasi dalam anggaran keamanan siber terus meningkat, dengan sekitar 63% organisasi di Indonesia misalnya, telah meningkatkan anggaran mereka untuk keamanan siber pada tahun 2023. Tren anggaran teknologi juga bergeser, dengan lebih dari 60% perusahaan kini memilih model belanja operasional (OPEX) untuk fleksibilitas yang lebih tinggi.
Strategi yang diadopsi mencakup implementasi arsitektur Zero Trust, solusi keamanan berbasis AI, dan keamanan berbasis cloud. Keamanan identitas juga ditempatkan sebagai prioritas investasi utama di Asia Pasifik pada tahun 2026, menyadari bahwa satu kredensial yang bocor dapat membuka akses ke seluruh lingkungan cloud perusahaan. Selain teknologi, perusahaan juga fokus pada penerapan prinsip keamanan sejak tahap desain (security by design), melakukan penilaian risiko menyeluruh secara berkala, mengembangkan rencana respons insiden, dan perencanaan keberlangsungan bisnis. Kesadaran pengguna dan pelatihan keamanan siber untuk tim internal, serta simulasi ancaman berkala, juga menjadi bagian tak terpisahkan dari pertahanan aktif.
Meskipun demikian, tantangan tetap ada, termasuk kesenjangan keterampilan siber yang signifikan—hanya 14% organisasi global yang yakin memiliki personel dan keterampilan yang dibutuhkan. Ada pula paradoks antara adopsi AI yang cepat dengan implementasi tanpa perlindungan keamanan yang memadai. Kompleksitas integrasi teknologi informasi (TI) dan teknologi operasional (OT), serta manajemen biaya dan sumber daya dalam adopsi cloud, juga menjadi kendala. Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini dan memastikan manfaat digitalisasi bagi semua pihak, kolaborasi antara pemangku kepentingan sektor publik dan swasta menjadi sangat penting. Ketahanan siber kini benar-benar menjadi fondasi krusial yang menentukan "hidup atau mati" bagi setiap organisasi di panggung global.