
Wacana pembatasan permainan daring PlayerUnknown's Battlegrounds (PUBG) kembali mengemuka di Indonesia, menyusul insiden ledakan di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara, pada Jumat, 7 November 2025. Peristiwa ini memicu perhatian serius dari pemerintah, dengan Presiden Prabowo Subianto dikabarkan telah menginstruksikan jajarannya untuk menelusuri dampak negatif permainan daring terhadap perilaku generasi muda.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi menyampaikan bahwa Presiden Prabowo menyoroti pentingnya mencari solusi untuk mengatasi pengaruh game online yang berpotensi berdampak buruk pada anak-anak dan pelajar. Permainan bergenre tembak-menembak seperti PUBG dinilai memiliki unsur kekerasan dan penggunaan senjata yang realistis, yang dikhawatirkan dapat memengaruhi perilaku agresif serta menurunkan sensitivitas terhadap kekerasan di kalangan pemain muda. Secara psikologis, paparan berulang terhadap konten semacam ini dapat membuat kekerasan dianggap sebagai hal biasa. Insiden di SMAN 72, yang diduga berkaitan dengan konsumsi konten kekerasan ekstrem dan pembelajaran tutorial pembuatan ledakan dari internet oleh pelaku, memperkuat kekhawatiran ini.
Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) turut merespons wacana ini dengan menyatakan bahwa kajian awal timnya menemukan unsur kekerasan, penampakan senjata realistis, penggunaan bahasa kasar, unsur kriminal, serta adegan horor seperti darah dan ancaman dalam PUBG. Hal ini menempatkan PUBG cenderung dalam kategori usia 18+. Untuk melindungi anak-anak, Komdigi telah meluncurkan Indonesia Game Rating System (IGRS) pada 11 Oktober 2025, yang mewajibkan penerbit game untuk mencantumkan klasifikasi usia dan konten secara jelas. Sistem ini akan berfungsi layaknya badan sensor film untuk game, dengan implementasi penuh pada tahun 2026. Selain itu, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2025 tentang Pelindungan Anak di Ranah Digital, yang mewajibkan platform digital untuk menerapkan verifikasi dan pembatasan usia berdasarkan profil risiko pengguna. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendukung penuh inisiatif pemerintah untuk mengatur game bernuansa perang dan kekerasan demi proteksi anak.
Meskipun demikian, isu pembatasan ini memicu beragam tanggapan dari masyarakat dan komunitas pemain. Tokoh e-sports Indonesia, Eddy Lim, berpendapat bahwa kasus ledakan SMAN 72 tidak dapat serta-merta dikaitkan dengan pengaruh game. Ia menyoroti bahwa PUBG dimainkan secara global tanpa insiden serupa yang memicu pemblokiran massal, dan menyalahkan game berisiko mengabaikan masalah mendasar lainnya seperti kurangnya sistem deteksi dini terhadap stres, depresi, atau kekerasan sosial di sekolah. Komunitas e-sports dan pemain profesional juga berharap pemerintah dapat melihat sisi positif game online, yang telah berkembang menjadi industri kreatif dan olahraga elektronik (e-sports) global, serta menjadi peluang karier dan prestasi internasional.
Pemerintah Korea Selatan, melalui Kementerian Kebudayaan, Olahraga, dan Pariwisata (MCST), bahkan telah menanggapi wacana ini, menyatakan bahwa mengaitkan insiden ledakan dengan game PUBG buatan studio Krafton asal Korea Selatan dinilai tidak memiliki hubungan yang cukup pasti dan berencana menyampaikan penjelasan resmi kepada pemerintah Indonesia.
Wacana pembatasan PUBG bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Pada tahun 2019, Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh sempat mengeluarkan fatwa haram untuk PUBG dan game sejenisnya, dengan pertimbangan adanya unsur kekerasan, kebrutalan, penghinaan simbol agama, serta potensi kecanduan dan perubahan perilaku negatif. Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat juga pernah mempertimbangkan fatwa haram skala nasional pada saat itu, namun tidak ada keputusan final yang dikeluarkan.
Hingga saat ini, belum ada keputusan resmi mengenai pemblokiran atau pelarangan permanen PUBG Mobile di Indonesia. Pemerintah memastikan bahwa pembahasan masih dalam tahap koordinasi antarlembaga, dengan pendekatan yang diambil akan tetap memperhatikan aspek industri game dan komunitasnya. Regulasi yang adil dan proporsional, dengan fokus pada pengawasan dan edukasi, diharapkan dapat melindungi generasi muda tanpa menghambat perkembangan ekosistem digital nasional.